Kamis, 12 Desember 2013

SUMBER- SUMBER/ DALIL- DALIL HUKUM FIQIH (USHUL FIQIH )



BAB II
PEMBAHASAN


1.      SUMBER- SUMBER/ DALIL- DALIL HUKUM FIQIH (USHUL FIQIH )
Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lainnya mempunyai sumber hukum. Istilah sumber hukum dalam Islam sama dengan Ushul al-Hukm (al adilah atau dalil-dalil hukum). Yang dimaksud dengan  dalil hukum adalah hukum syara yang amaliah dari dalil. Dalil (sumber hukum) ini dapat ditinjau dari beberapa segi, diantaranya dari segi asalnya.
Dalil (sumber hukum) dari segi asalnya ini terdiri dari dua macam, yaitu :
     I.          Dalil Naqli, yaitu dalil-dalil yang berasal  dari nash langsung, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Dalil naqli yang bersumber dari al-Qur’an ini merupakan dalil yang sudah jelas dan kebenarannya tidak diragukan lagi, karena berasal dari dari Allah SWT dan dijamin kemurnian atau keasliannya. Demikian pula dalil naqli yang berasal dari al-Hadits, yang merupakan ucapan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah SAW yang selamanya berada dalam bimbingan Allah SWT. Sedangkan dalil naqli yang bersumber dari potensi insani dengan menggunakan akal pikirannya yang berupa ijtihadi muncul apabila hukum tersebut tidak dapat ditemukan pada dalil naqli. Oleh karenanya Allah dan Rasul-Nya memberikan kewenangan kepada potensi insani yang berupa akal untuk menggali, sehingga mampu menemukan serta menetapkan hukumnya. Namun tetap hal ini yang menjadi sandaran pokoknya adalah Al-Qur’an dan al-Hadits.

      II.          Dalil aqli yaitu dalil-dalil yang bukan dari nash langsung tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu ijtihadi.
pendapat lainnya yang mengemukakan, bahwa sumber hukum Islam berasal dari potensi-potensi  sumber Illahi dan insani atau dengan kata lain sumber naqliyah dan aqliyah. Penggabungan kedua sumber ini melahirkan sumber ketiga, yakni kasyfiyyah, yaitu kebenaran yang bersumber dari instuisi atau kebenaran intuitif. Sumber hukum naqliyyah  ada yang bersifat  orsinal (ashliyyi) dan ada pula yang bersifat tambahan (taba’iyy). Sumber hukum naqliyyah yang bersifat tambahan ini adalah ijma.

A.    1.  Sumber Naqli (Illahi) : Al-Qur’an
Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata. Diantara beberapa nama itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur’an.
Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al Qur’an memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat nama al Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan didalam qira’ah terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitab-kitab suci lain dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir (sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu mencatatnya dengan jujur dan cermat.
Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur. Dikatakan Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah :17-18).
Qur’anan dalam hal ini berarti juga qira’atahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u” seperti “gufran”  dan “syukran”. Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa qur’anan, artinya sama saja yakni  maqru’ (apa yang dibaca) atau nama Qur’an (bacaan).
Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagainama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.
“dan apabila dibacakan Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf :204).
Sebagian Ulama berpendapat bahwa kata Qur’an itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai sebuah kata jadian. Ada analisa penyebutan tersebut kemungkinan adalah karena Qur’an dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan bukan merupakan kata jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda. Untuk itulah ada baiknya jika kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal kata  Qur’an :
a.    Asy-Syafi’i, berpendapat bahwa kata qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah ( Quran) yang tidak diambil dari kata lain (Musytaq). Ia adalah nama Khusus yang dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi  Isa dan Musa. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.. jadi menurut asy Syafi’i, lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang dibaca dapat dinamai al Qur’an, sama halnya dengan nama Taurat dan Inzil.
b.    Al-Farra’ dalam kitabnya “Ma’anil Qur’an” berpendapat bahwa lafadz qur’an tidak memakai hamzah, dan diambil (musytaq) dari kata qara’in jamak dari qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat al Qur’an itu serupa satu sama yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa. Dan huruf  “nun” pada akhir lafadz al Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.
c.    Al Asy’ari berpendapat bahwa lafadz  al Qur’an tidak memakai hamzah dan diambil dari kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al Qur’an dihmpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
Tiga pendapat diatas menurut  Subhi as Shalih adalah beberapa contoh dari Ulama yang berpendapat bahwa lafadz al Qur’an tanpa huruf hamzah ditengahnya jauh dari kaidah pemecahan kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Sedangkan para ulama’ yang berpendapat bahwa lafadz al Qur’an ditulis dengan tambahan hamzah ditengahnya adalah :
a.    Az Zajjaj, lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan pola kata (wazn) fu’lan, lafadz tersebut pecahan (musytaq) darai akar kata qar’un yang berarti jam’un, Seperti kalimat quri’al ma’u fil-haudi, yang berarti : air dikumpulkan dalam kolam. Jadi dalam kalimat itu kata qar’un bermakna jam’un, yang dalam bahasa Indonesia bermakna kumpul, atau menhimpun. Hal ini karena al Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.
b.    Al Lihyani, lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahandari akar kata qa-ra-a yang bermakna tala (membaca).
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu :
a. Hukum-hukum I’tiqadiyah, yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan  kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
b. Hukum-hukum Khuluqiyah, yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban orang mukallaf  untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat tercela.
c. Hukum-hukum Amaliah , yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian atau mu’amalah (kerja sama) sesama manusia
Selanjutnya, hukum-hukum amaliah di dalam al-qur’an itu terdiri atas dua macam, yaitu :
1). Hukum Ibadat, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba Allah dengan Khaliq-Nya.
2). Hukum-hukum Mu’amalat, seperti segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan’uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum muamalah ini diciptakan dengan tujuan mengatur hubungan manusia dengan manusia , baik sebagai persorangan maupun sebagai anggota masyarakat.
Hukum-hukum selain ibadat menurut syara disebut dengan hukum muamalat. Tetapi menurut perkembangannya hukum muamalat ini mempunyai nama yang berbeda-beda mengingat sifat hubungan dan maksud diadakannya, diantaranya :
1). Ahwalu asy-Syakhshiyah (hukum keluarga), Ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan ahwalus Syamshiyah ini kurang lebih 70 ayat.
2). Ahkamu al-Madaniyah (hukum privat). Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum privat ini kurang lebih 70 ayat.
3). Ahkamu al-Jinayah (hukum pidana), Jumlah ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum pidana kurang lebih 30 ayat.
4). Ahkamu al-Murafa’at (hukum acara), Jumlah ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan  hukum acara ini sebanyak 13 ayat.
5). Ahkamu al-Dusturiyah (hukum perundang-undangan), Ayat yang berhubungan dengan hukum ini sebanyak 10 ayat.
6). Ahkamu al-Dauliyah (hukum internasional), Ayat yang berhubungan dengan hukum ini adalah 25 ayat.
7). Ahkamu al-Iqtishadiyah Maaliyah  (hukum ekonomi dan keuangan), Ayat yang berhubungan dengan hukum ini sebanyak 10 ayat.
Kebijakan al-Qur’an dalam menerapkan hukum-hukum menggunakan prinsip-prinsip :
1). Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan, Menyedikitkan tuntutan
2). Bertahap dalam menerapkan hukum, Sejalan dengan kemaslahatn manusia
Di samping itu dalam al-Qur’an  terkandung hukum-hukum azimah dan rukhshah, seperti dalam keadaan bepergian, sakit, terpaksa dan lain sebagainya. (al Baqarah : 184). Selain itu ada ulama yang mengatakan bahwa ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum hanya 500 ayat.
B.     2. Sumber Naqli (Illahi) : Al-Sunnah/Al-Hadits
As-Sunnah menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang disadarkannya kepada Rasulullah saw, maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada 3 macam, Yakni:
a. Sunnah qauliyah (perkataan),
b. Sunnah fi’liyah (perbuatan) dan
c. Sunnah taqririyah (persetujuan).
1.  Sunnah qauliyah
Sunnah qauliyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya Sabda beliau yang artinya: Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memadharatkan. (Rw. Malik.)  adalah suatu sunnah-qauliyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Demikian juga sabda beliau yang artinya: Ia suci airnya lagi halal bangkainya.  adalah sunnah qauliyah yang menjelaskan kesucian air laut serta halalnya ikan-ikan yang mati di dalamnya walaupun tanpa disembelih.
2 .Sunnah fi’liyah
Sunnah fi’liyah ialah segala tindakan Rasulullah saw. Sebagai Rasul. Misalnya tindakan beliau mengerjakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukun melaksakan, menjalankan ibadah haji, memutuskan perkara berdasarkan bukti atau saksi dan mengadakan penyumpahan terhadap seorang pendakwa. 

3. Sunnah taqririyah
Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat yang telah disetujui oleh Rasulullah saw. Secara diam-diam atau tidak dibantahnya atau disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri. Sebagai contoh misalnya periwayatan salah seorang sahabat yang menceritakan bahwa: Ada dua orang sahabat bepergian. Kemudian setelah datang waktu sembahyang mereka bertayamum, karena mereka tidak mendapatkan air. Setelah mereka melanjutkan perjalanan kembali, ditengah jalan mereka mendapatkan air, sedang waktu shalat masih ada. Lalu salah seorang dari mereka berwudlu terus mengulang sembahyang kembali, sedang yang lain tidak berbuat demikian. Ketika kedua orang tersebut melaporkan kepada Rasulullah saw. Apa yang telah mereka lakukan, maka beliau membenarkan tindakan yang telah mereka lakukan masing-masing. Beliau berkata kepada oaring yang tidak mengulang sembahyangnya: “Perbuatanmu adalah sesuai dengan sunnah, karena itu shalat yang sudah kamu kerjakan itu sudah cukup.” Kepada orang yang mengulang shalatnya beliau berkata: “Kamu bakal memperoleh pahala dua kali.”
Selanjutnya, Sunnah ditinjau  dari sedikit atau banyaknya orang yang meriwayatkan, dibagi kepada 3 bagian :
1. Sunnah Muatawatiroh, Yaitu segala sesuatu dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereke bersepakat untuk berdusta, kemudian dari sahabat diriwayatkan  pula oleh para tabi’in dalam jumlah yang seimbang dengan jumlah para sahabat. Yang meriwayatkan pada mula pertama.
2. Sunnah masyhuroh, yaitu segala sesuatu dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh seorang sahabat atau dua orang atau lebih yang tidak sampai mencapai derajat mutawatiroh, kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in yang mencapai derajat mutawatiroh dan dari sekian banyak tabi’in diriwayatkan oleh sekian banyak rawi yang mutawatir pula.
3. Sunnah Ahad, yaitu segala sesuatu dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dua atau lebih yang tidak sampai derajat mutawatir, kemudian diriwayatkan oleh seorang tabi’in, dua tau lebih dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-perawi dalam keadaan yang sama.
Kemudian sunnah/hadits Ahad ini terbagi kepada 3 bagian yaitu :
1). Sunnah/hadist Shahih. Ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai Rasulullah, tidak mempunyai cacat.
2). Sunnah/hadist Hasan, ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai Rasulullah, tidak mempunyai cacat dan tidak  berlawanan degan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
3). Sunnah/Hadits dhaif. Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.
3. Sumber Naqli Taba’iy: Ijma’
Ijma menurut istilah ahli ushul ialah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.
Sebagai realisasi dari ta’rif tersebut adalah apabila  terjadi suatu peristiwa dimana hukumnya belum ada didalam al-qur’an atau hadits, dan peristiwa tersebut memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah peristiwa itu dikemukakan kepada para mujtahid, mereka lalu mengambil kesepakatan terhadap hukum peristiwa tersebut.
Oleh karena ijma itu adalah persesuaian  pendapat para mujtahid, maka  ijma itu tidak akan terealisir sekiranya tidak memenuhi empat (4) macam rukun sebagai berikut :
1. Pada masa terjadinya perististiwa itu harus ada beberapa orang mujtahid. Sebab istilah kesepakatan pendapat itu tidak akan berwujud sekiranya tidak ada beberapa macam pendapat yang masing-masing pendapat itu bersesuaian  dengan pendapat yang lain. Jikakalau dalam masa terjadinya  peristiwa itu tidak ada seorang mujtahid sama sekali, atau tidak ada tetapi hanya seorang saja, maka tidaklah terjadi suatu ijma yang dibenarkan syara. Oleh karena itu pada waktu Rasulullah SAW masih hidup ijma itu tidak akan terjadi, karena beliau sajalah satu-satunya mujtahid pada waktu itu.
2. Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara yang telah mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
3. Kesepakatan itu hendaknya dilahirkan secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan.
4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Apabila rukun-rukun ijma ijma tersebut telah terpenuhi, maka hukum hasil dari ijma itu merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu tempat berijtihad baru.
·       Kehujahan Ijma
Sebagaimana halnya Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, juga memerintahkan untuk mentaati para pemimpin mereka yang berkuasa, sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Nisa : 59, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan antara kamu sekalian ..(Q.S An-Nisa : 59)  
Demikian pula banyak hadits-hadits yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan, sebagaimana sabdanya yang artinya: ”Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan” (HR. Ibnu Majah)
Oleh karena itu ijma terhadap hukum syara harus dibina di atas sandaran syari’at. Sebab setiap mujtahid muslim terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampauinya.
Selanjutnya, ditinjau dari segi terjadinya dan martabatnya, ijma  ada dua macam, yaitu :
1. Al-Ijma al-Sharih, yaitu ijma yang dengan tegas persetujuannya dinyatakan, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
2.  Al-Ijma al-Sukuty, yaitu ijma yang dengan tegas persetujuannya dinyatakan  oleh sebagian mujtahid, sedangkan sebagian yang lainnya diam, tidak jelas apakah mereka menyetujui atau menentang.
Ijma bentuk pertama disebut dengan al-Ijma al-haqiqy atau al-Ijma  al-qauly, merupakan hujah menurut pendapat jumhur, sedangkan ijma bentuk kedua disebut al-ijma al-i’tibary menurut jumhur bukan hujah, hanya ulama-ulama Hanafiyah menganggap al-ijma al-sukuty ini sebagai hujah, karena  diamnya seorang mujtahid dianggap menyutujui. Sedangkan menurut jumlah ulama, termasuk Asy-Syafi’i, ijma sukuty tidak bisa dianggap hujah karena:
1. Kepada seorang yang diam tidak bisa dinisbahkan sesuatu pendapat, orang yang diam mungkin tidak setuju kepada sesuatu pendapat.
2. Seorang mujtahid yang diam (tidak mengeluarkan pendapat) tidak bisa dianggap sebagai tanda  persetujuan, sebab diamnya seseorang  mungkin setuju tapi mungkin pula sudah berijtihad tetapi tidak sampai pada keputusan  tersebut, mungkin pula karena takut dan mungkin pula diamnya itu disebabkan hal-hal yang lain.
Di samping itu, ada pula yang menganggap bahwa ijma sukuti itu hujah, tapi bukan ijma karena hakikat persetujuan (konsensus) tidak terdapat padanya karena tidak seluruh mujtahid mengatakan pendapatnya. Dianggap hujah karena lebih kuatnya (rajihnya) persetujuan  dengan cara diam dari pada penentangan.
Namun yang harus lebih dipahami bahwa suatu ijma diperlukan  suatu sandaran, karena para mujtahid yang mengadakan ijma tidaklah membuat hukum baru. Hak untuk membuat hukum hanyalah ada pada Allah dan yang menjadi sandaran ijma ini secara praktis adalah kitabullah atau sunnah Rasulullah.
4. Sumber Naqli Taba’iy: mazhab sahabat
5. Sumber Naqli Taba’iy: uruf
Secara etimologi  ‘Urf’  berarti  sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat. Menurut kebanyakan ulama  ‘Urf’  dinamakan juga  ‘Adat’ sebab perkara yang telah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Para  ulama ushul Fiqih membedakan antara Adat’ dengan ‘Urf’ dalam kedudukannya sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan dengan:
Adat  adalah  sesuatu  yang  dilakukan  secara  berulang-ulang  tanpa  adanya  hubungan rasional.
Urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara.
Dengan  demikian  ‘Urf’  bukanlah  kebiasaan  alami  sebagaimana  berlaku  dalam kebanyakan  adat,  tetapi  muncul  dari  pemikiran  dan  pengalaman.  Yang  dibahas  ulama Ushul  Fiqih  dalam  kaitannya  dengan  dalil  dalam  menetapkan  hukum  syara  adalah  ‘Urf’, bukan ‘Adat’.
Kehujjahan Urf
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh tentang kehujahan 'urf.
v  Golongan  Hanafiyah  dan  Malikiyah  berpendapat  bahwa  'urf  adalah  hujah  untuk menetapkan hukum.
v  Golongan  Syafiiyyah  dan  Hanbaliyah,  keduanya tidak menganggap urf sebagai hujah atau  dalil  hukum  syari.  Mereka  beralasan,  ketika  ayat  ayat  Alquran  turun,  banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat .

6.Sumber Naqli Taba’iy: Qaul Sahabi
Qaul shahabi adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil  para  ulama,  baik  berupa  fatwa  maupun  ketetapan  hukum,  yang  t idak  dijelaskan dalam ayat atau hadis.Yang  dimaksud  dengan  shahabat  menurut  ulama  ushul  fiqih  adalah  seseorang  yang bertemu  dengan  Rasulullah  saw.  beriman  kepadanya,  mengikuti  serta  hidup  bersamanya, dalam  waktu  yang  panjang,  serta  dijadikan  rujukan  oleh  generasi  sesudahnya  dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw.

Kehujahan Qaul Shahaby
Pendapat shahabat tidak  menjadi  hujjah  atas shahabat  lainnya,  hal  ini telah disepakati para ulama ushul. Namun yang masih diperselisihkan adalah apakah pendapat shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi'in dan orang-orang yang telah datang setelah tabiin. Ulama ushul memiliki tiga pendapat:
v   Ada yang mengatakan bahwa qaul shahaby secara muthlaq tidak bisa dijadikan hujah.
v   Satu pendapat mengatakan bahwa madzhab shahabat bisa jadi hujah.
v   Pendapat  lain  menyatakan  bahwa  pendapat  shahabat  itu  jadi  hujah,  dan  apabila pendapat shahabat bertentangan dengan qiyas, maka pendapat shahabat didahulukan.
v   Ustadz Ali Hasaballah merangkum, bahwa seorang mujtahid tidak  dibebaskan  untuk  mencari  dalil  dari  pendapat  seorang  shahabat,  bila  ia menemukannya  tidak  dibenarkan  menyandarkannya  pada  shahabat  itu,  akan  tetapi  bila tidak menemukannya, maka mengikutinya adalah lebih baik ketimbang mengikuti pendapat yang berdasarkan hawa nafsu.

B. Sumber ‘Aqliy (insaniy)
a.       Qiyas
Qiyas menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan  hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
Sesuai dengan tarif di atas tersebut, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui  menurut suatu dari cara-cara mengetahui illat-illat hukum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan  oleh suatu nash, tetapi illat hukumnya adalah sama dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka hukumnya peristiwa yang tidak ada nashnya ini disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa itu.
Setiap qiyas memiliki empat rukun, yaitu :
1. Ashal (pokok), yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengkiyaskan. Ashal itu juga  disebut dengan maqis ‘alaih (yang dijadikan tempat mengkiyaskan) atau mahmul alaih (tempat membandingkannya) atau musyabbah bih (tempat menyerupakannya).
2. Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya. Disebut juga maqia (yang dikiyaskan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashal, yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
4. Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal, yang karena sifat itu  maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu  terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang ashal. 
Oleh karena itu, menurut Jumhur Ulama maka qiyas itu menjadi hujjah syar’iyah  (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia. Dan berada pada tingkat  keempat dari dalil-dalil syari’at.
b.      Istihsan
para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه .اولئك الذين هدهم الله . واولئك هم اولو الالبابز
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan. Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
c.       Syar’un ma qablan
Sesungguhnya  syari’at samawi pada asalnya adalah satu. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Syura : 13
Artinya : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (al-Sura : 13)
Karena yang menurunkan syari’at samawi itu satu yaitu Allah SWT, maka syari’at tersebut pada dasarnya adalah satu, meskipun kemudian Allah SWT telah mengharamkan beberapa hal kepada sebagian kaum. Yahudi diharamkan untuk memakan binatang-binatang yang berkuku, lemak sapi dan kambing.
Juga ditetapkan bahwa dosa tidak bisa dimaafkan kecuali dengan membunuh diri dan pakaian yang kena najis tidak bisa jadi suci dengan dicuci kecuali dengan dipotong kainnya. Selain itu juga bahwa bentuk dan cara-cara ibadah (hubungan manusia dengan Allah berbeda dalam perincian meskipun intinya sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Tauhidullah)).
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat sebelum lahirnya syari’at Islam. Dengan datangnya syari’at Islam, tidak semua hukum tersebut dihapuskan. Sebagian hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash. Hukum tersebut, di kalangan umat Islam, dikenal sebagai syar’man qoblana, yang secara harfiah berarti syari’at umat sebelum kita.
Di dalam menanggapi berlakunya syar’man qablana , ada beberapa hal yang disepakati ulama. Pertama : bahwa hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam, nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber  hukum Islam. Kedua : Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syari’ah Islamiyah, otomatis hukum tersebut tidak berlaku  bagi kita. Dengan demikian, hukum-hukum yang dikhususkan untuk sesuatu umat tertentu, tidak berlaku  bagi umat Islam seperti keharaman beberapa makanan/daging bagi Bani Israil. Ketiga : Segala yang ditetapkan dengan nash-nash yang dihargai  oleh Islam seperti juga ditetapkan  oleh agama-agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi, bukan karena ditetapkan-Nya bagi umat yang telah lalu.seperti tentang qishash.   
Sedangkan hukum umat sebelum kita yang tidak disepakati oleh ulama tentang nilai atau kekuatannya adalah hukum-hukum samawi yang telah lalu yang tidak ada dalil yang menetapkannya, ataupun menolaknya di dalam syari’at Islamiyyah.
d.    Syadz al-dzari’ah
Sadz al-Dzari’ah banyak disebut di dalam kitab-kitab Malikiyah dan Hanabilah. Walaupun demikian secara praktis kita dapatkan pula di dalam fiqh Hanafiah dan Syafi’i.
Dzari’ah artinya washilah atau jalan yang menyampaikan kepada tujuan , yang dimaksud dengan dzari’ah di sini adalah ialah jalan untk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal. Jalan atau cara  menyampaikan kepada yang haram hukumnya haram dan cara yang menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal dan apa yang menyampaikan kepada wajib hukumnya adalah wajib, bahkan ada suatu kaidah : Kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan adanya suatu hal maka hal tersebut adalah wajib.
Saddudz dzari’ah merupakan salah salah satu dari sumber-sumber hukum syari’at. Imam Malik banyak menggunakan dasar ini di dalam pembahasan kitab fiqhnya. Oleh karena pendukung-pendukung beliau terus memperluas penggunaan dasar ini, sampai orang-orang menganggap  bahwa saddudz dzari’ah  itu hanya dikembangkan oleh ulama malikiyah saja. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Sebab-sebab ulama-ulama selain Malikiyah juga menggunakan dasar ini, hanya saja ada perbedaan sedikit dalam mempraktekannya.
Adapun sumber hukum saddudz dzari’ah ialah ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan sifat asal dan efek perbuatan yang ditimbulkannya ada empat macam :
1. Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Seperti perbuatan zina menjadi perantara adanya percampuran dan ketidakpastian status nasab seseorang. Meminum khamar mengakibatkan hilangnya akal. Perbuatan-perbuatan tersebut dilarang  dengan hukum haram menurut kadar yang ditimbulkannya.
2. Dzari’ah yang diperbolehkan menurut asalnya dan orang mukallaf  yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertian yang asli, dan perbuatan tersebut dapat membawa kepada kerusakan. Akan tetapi kemaslahatan yang terdapat di dalamnya lebih kuat daripada kerusakannya.
3. Dzari’ah yang diperbolehkan menurut asalnya dan orang mukallaf  yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertiannya  yang asli, akan tetapi dapat membawa kepada kerusakan  yang lebih berat. Dengan kata lain  akibat kerusakannya lebih berat daripada kemaslahatannya. Misalnya berdandan bagi seorang istreri yang baru saja ditinggal mati suaminya.
4. Dzari’ah yang menurut asalnya diperbolehkan, akan tetapi orang yang mengerjakannya bermaksud menggunakannya sebagai media kepada kemafsadatan.
Berdasarkan  hal-hal tersebut di atas jelaslah bahwa saddudz dzari’ah  digunakan digunakan oleh ulama hanya mereka berbeda pendapat di dalam menentukan ukurannya.

e.       Maslahah Mursalat

Adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.
Manfaat (maslahat) yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah) adalah  sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahah dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
v  Melihat mashlahah pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang. Akte nikah tersebut memiliki kemashlahatan. Akan tetapi kemashlahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut.
v  Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-manasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan. Misalnya suatu akte nikah itu mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Oleh karena itu, dari sisi ini ia disebut al-munasibal-mursal (kesesuaian dengan tujuan syaria’t yang terlepas dari dalil-dalil syara’ yang khusus).
v  Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini disebut istishlah (menggali dan menetapkan suatu mashlahat).

pendapat para ulama tentang al-mashlahah al-mursalah ini dapat dibagi dalam empat pandangan, yaitu:
v al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak ada dasarnya;
v Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak;
v Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya
v Imam Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsinatau  tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih jelas. Adapun bila berada pada martabat penting boleh memakainya, tetapi harus memnuhi beberapa syarat.
Dari beberapa pendapat di atas, hanya Imam Malik yang menerima istishlah secara mutlak.
Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Ada bebrapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah Mursalah diantaranya adalah :
a)      Al Quran.
Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah SWT.
Artinya: Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al Anbiya : 107)

Artinya : Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. ( Q.S. Yunus : 57).

b)      Hadits.
Hadits yang dikemukakan sebagai landasan syar’i atas kehujahan maslahah mursalah adalah sabda Nabi saw.
Artinya:Tidak boleh berbuat madhorot dan pula saling memadhorotkan.(H.R. lbnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini berkualitas hasan) 
c)      Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf
Dalam memberikan contoh maslahah mursalah di muka telah dijelaskan, bahwa para sahabat seperti Abu Bakar As Shidik, Umar bin Khathab dan para imam madzhab telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah. Disamping dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan maslahah musrsalah juga didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya Ilmu Ushulil Fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang tidak ada habisnya, karenanya, kalau tidak ada syariah hukum yang berdasarkan maslahat manusia berkenaan dangan maslahah baru yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syar saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.
Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :
a.       Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.
b.      Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.

f.       Istishab
Adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa  lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menyatakan kedudukan istishab sebagai dalil syara. Kalangan ulama dan mazhab maliki, Hambali dan Syafi’I menjadikan Istishab sebagai dalil yang menetapkan hukum yang telah ada selama tidak ada dalil dalam menetapkan hukum yang mengubahnya. Baik secara qath’I atau zanni maka hukum itu tetap berlaku karena diandaikan belum ada perubahan terhadapnya.
Manakala ada kalangan ulama mutakallimin menyatakan bahwa istishab tidak boleh dijadikan sebagai dalil mereka menyatakan hukum telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandar kepada dalil, begitu juga menetapkan perkara sekarang dan masa yang akan datang.
Pendapat ulama mutaakhirin menyatakan boleh menerima Istishab sebagai hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa akan datang sehingga ada dalil mengubahnya. Namun istishab tidak boleh digunakan menetapkan hukum yang aka nada (baru).
Jadi berdasarkan pendapat ini sesuatu hukum yang telah berlaku dan tidak ada dalil yang membatalkannya maka hukum tersebut terus berjalan, namun dalam lainnya tidak dipakai dalam menetapkan hukum yang baru.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar