BAB II
PEMBAHASAN
1.
SUMBER- SUMBER/ DALIL- DALIL HUKUM FIQIH (USHUL
FIQIH )
Hukum Islam sebagaimana
hukum-hukum yang lainnya mempunyai sumber hukum. Istilah sumber hukum
dalam Islam sama dengan Ushul al-Hukm (al adilah atau dalil-dalil
hukum). Yang dimaksud dengan dalil hukum adalah hukum syara yang amaliah
dari dalil. Dalil (sumber hukum) ini dapat ditinjau dari beberapa segi,
diantaranya dari segi asalnya.
Dalil (sumber hukum) dari segi
asalnya ini terdiri dari dua macam, yaitu :
I.
Dalil
Naqli, yaitu
dalil-dalil yang berasal dari nash langsung, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Dalil
naqli yang bersumber dari al-Qur’an ini merupakan dalil yang sudah jelas dan
kebenarannya tidak diragukan lagi, karena berasal dari dari Allah SWT dan
dijamin kemurnian atau keasliannya. Demikian pula dalil naqli yang berasal dari
al-Hadits, yang merupakan ucapan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah SAW yang
selamanya berada dalam bimbingan Allah SWT. Sedangkan dalil naqli yang
bersumber dari potensi insani dengan menggunakan akal pikirannya yang berupa
ijtihadi muncul apabila hukum tersebut tidak dapat ditemukan pada dalil naqli.
Oleh karenanya Allah dan Rasul-Nya memberikan kewenangan kepada potensi insani
yang berupa akal untuk menggali, sehingga mampu menemukan serta menetapkan
hukumnya. Namun tetap hal ini yang menjadi sandaran pokoknya adalah Al-Qur’an
dan al-Hadits.
II.
Dalil
aqli yaitu
dalil-dalil yang bukan dari nash langsung tetapi dengan menggunakan akal
pikiran, yaitu ijtihadi.
pendapat
lainnya yang mengemukakan, bahwa sumber hukum Islam berasal dari
potensi-potensi sumber Illahi dan insani atau dengan kata
lain sumber naqliyah dan aqliyah. Penggabungan kedua sumber ini
melahirkan sumber ketiga, yakni kasyfiyyah, yaitu kebenaran yang bersumber
dari instuisi atau kebenaran intuitif. Sumber hukum naqliyyah ada yang
bersifat orsinal (ashliyyi) dan ada pula yang bersifat tambahan (taba’iyy).
Sumber hukum naqliyyah yang bersifat tambahan ini adalah ijma.
A.
1. Sumber Naqli (Illahi) : Al-Qur’an
Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda
sekali dari bahasa yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu.
Nama-nama itu mengandung makna yang berbias
dan memiliki akar kata. Diantara beberapa nama itu yang paling terkenal ialah
al Kitab dan al Qur’an.
Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan
pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan
kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz) adapun penamaan
wahyu itu dengan al Qur’an memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan
didalam dada manusia mengingat nama al Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah
(bacaan) dan didalam qira’ah terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu
yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas itu telah ditulis dengan sangat
hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta untuk mencegah kemungkinan
terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak menyalah artikan atau usaha
mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitab-kitab suci lain dimana
wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja,
tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir
(sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu
mencatatnya dengan jujur dan cermat.
Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”,
yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti
mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf
serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur. Dikatakan Al
Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari
ilmu pengetahuan. Allah berfirman :
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah :17-18).
Qur’anan dalam hal ini berarti juga qira’atahu
(bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif,
konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u” seperti “gufran” dan “syukran”.
Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa
qur’anan, artinya sama saja yakni maqru’ (apa yang dibaca)
atau nama Qur’an (bacaan).
Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang
diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu,
sebagainama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara
keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar
orang membaca ayat Qur’an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca
Qur’an.
“dan apabila dibacakan Qur’an, maka
dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf :204).
Sebagian Ulama berpendapat bahwa kata Qur’an
itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai sebuah kata jadian. Ada analisa
penyebutan tersebut kemungkinan adalah karena Qur’an dijadikan sebagai suatu
nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan bukan merupakan kata
jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda. Untuk itulah ada baiknya jika
kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal kata Qur’an :
a.
Asy-Syafi’i, berpendapat bahwa kata qur’an ditulis dan
dibaca tanpa hamzah ( Quran) yang tidak diambil dari kata lain (Musytaq).
Ia adalah nama Khusus yang dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi
Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab
Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa. Lafadz tersebut sudah
lazim digunakan dalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw.. jadi menurut asy Syafi’i, lafadz tersebut bukan berasal dari
akar kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentu
setiap sesuatu yang dibaca dapat dinamai al Qur’an, sama halnya dengan nama
Taurat dan Inzil.
b.
Al-Farra’ dalam kitabnya “Ma’anil Qur’an”
berpendapat bahwa lafadz qur’an tidak memakai hamzah, dan diambil (musytaq)
dari kata qara’in jamak dari qarinah, yang berarti indikator
(petunjuk). Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat al Qur’an itu serupa
satu sama yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator
dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa. Dan huruf “nun” pada
akhir lafadz al Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.
c.
Al Asy’ari berpendapat bahwa lafadz al Qur’an tidak
memakai hamzah dan diambil dari kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al Qur’an
dihmpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
Tiga pendapat
diatas menurut Subhi as Shalih adalah beberapa contoh dari Ulama yang
berpendapat bahwa lafadz al Qur’an tanpa huruf hamzah ditengahnya jauh dari
kaidah pemecahan kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Sedangkan para ulama’ yang berpendapat bahwa
lafadz al Qur’an ditulis dengan tambahan hamzah ditengahnya adalah :
a.
Az Zajjaj, lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf hamzah
ditengahnya berdasarkan pola kata (wazn) fu’lan, lafadz tersebut pecahan
(musytaq) darai akar kata qar’un yang berarti jam’un, Seperti kalimat quri’al
ma’u fil-haudi, yang berarti : air dikumpulkan dalam kolam. Jadi dalam
kalimat itu kata qar’un bermakna jam’un, yang dalam bahasa Indonesia bermakna
kumpul, atau menhimpun. Hal ini karena al Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun
intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.
b.
Al Lihyani, lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf
ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahandari akar kata
qa-ra-a yang bermakna tala (membaca).
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu :
a. Hukum-hukum I’tiqadiyah,
yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk
mempercayai Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan
hari pembalasan.
b. Hukum-hukum Khuluqiyah,
yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan tingkah laku yang berhubungan dengan
kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat
keutamaan dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat tercela.
c. Hukum-hukum Amaliah
, yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian atau
mu’amalah (kerja sama) sesama manusia
Selanjutnya, hukum-hukum amaliah di dalam al-qur’an itu terdiri
atas dua macam, yaitu :
1). Hukum Ibadat, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan
lain sebagainya. Hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan
hamba Allah dengan Khaliq-Nya.
2). Hukum-hukum Mu’amalat, seperti segala macam perikatan,
transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan’uqubat (hukum pidana dan
sanksi-sanksinya). Hukum-hukum muamalah ini diciptakan dengan tujuan mengatur
hubungan manusia dengan manusia , baik sebagai persorangan maupun sebagai
anggota masyarakat.
Hukum-hukum selain ibadat menurut syara disebut dengan hukum
muamalat. Tetapi menurut perkembangannya hukum muamalat ini mempunyai nama yang
berbeda-beda mengingat sifat hubungan dan maksud diadakannya, diantaranya :
1). Ahwalu asy-Syakhshiyah (hukum keluarga), Ayat al-Qur’an
yang berhubungan dengan ahwalus Syamshiyah ini kurang lebih 70 ayat.
2). Ahkamu
al-Madaniyah (hukum privat). Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum
privat ini kurang lebih 70 ayat.
3). Ahkamu
al-Jinayah (hukum pidana), Jumlah ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum pidana kurang lebih 30 ayat.
4). Ahkamu
al-Murafa’at (hukum acara), Jumlah ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan hukum acara ini sebanyak 13 ayat.
5). Ahkamu
al-Dusturiyah (hukum perundang-undangan), Ayat yang berhubungan dengan
hukum ini sebanyak 10 ayat.
6). Ahkamu
al-Dauliyah (hukum internasional), Ayat yang berhubungan dengan hukum ini
adalah 25 ayat.
7). Ahkamu
al-Iqtishadiyah Maaliyah (hukum ekonomi dan keuangan), Ayat yang
berhubungan dengan hukum ini sebanyak 10 ayat.
Kebijakan al-Qur’an dalam menerapkan hukum-hukum menggunakan
prinsip-prinsip :
1). Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan, Menyedikitkan
tuntutan
2). Bertahap dalam menerapkan hukum, Sejalan dengan kemaslahatn
manusia
Di samping itu dalam al-Qur’an terkandung hukum-hukum azimah
dan rukhshah, seperti dalam keadaan bepergian, sakit, terpaksa dan
lain sebagainya. (al Baqarah : 184). Selain itu ada ulama yang mengatakan bahwa
ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum hanya 500 ayat.
B.
2.
Sumber Naqli (Illahi) : Al-Sunnah/Al-Hadits
As-Sunnah menurut istilah syar’i
ialah sabda, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah
saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang disadarkannya kepada
Rasulullah saw, maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada 3 macam, Yakni:
a. Sunnah qauliyah (perkataan),
b. Sunnah fi’liyah (perbuatan) dan
c. Sunnah taqririyah (persetujuan).
1. Sunnah qauliyah
Sunnah qauliyah ialah
sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya Sabda
beliau yang artinya: Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memadharatkan.
(Rw. Malik.) adalah suatu sunnah-qauliyah yang bertujuan memberikan
sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya
sendiri dan orang lain. Demikian juga sabda beliau yang artinya: Ia suci
airnya lagi halal bangkainya. adalah sunnah qauliyah yang menjelaskan
kesucian air laut serta halalnya ikan-ikan yang mati di dalamnya walaupun tanpa
disembelih.
2 .Sunnah fi’liyah
Sunnah fi’liyah ialah segala tindakan Rasulullah saw. Sebagai Rasul. Misalnya
tindakan beliau mengerjakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara,
syarat-syarat dan rukun-rukun melaksakan, menjalankan ibadah haji, memutuskan
perkara berdasarkan bukti atau saksi dan mengadakan penyumpahan terhadap
seorang pendakwa.
3. Sunnah taqririyah
Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat yang telah
disetujui oleh Rasulullah saw. Secara diam-diam atau tidak dibantahnya atau
disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perbuatan yang
dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh beliau
sendiri. Sebagai contoh misalnya periwayatan salah seorang sahabat yang
menceritakan bahwa: Ada dua orang sahabat bepergian. Kemudian setelah datang
waktu sembahyang mereka bertayamum, karena mereka tidak mendapatkan air.
Setelah mereka melanjutkan perjalanan kembali, ditengah jalan mereka
mendapatkan air, sedang waktu shalat masih ada. Lalu salah seorang dari mereka
berwudlu terus mengulang sembahyang kembali, sedang yang lain tidak berbuat
demikian. Ketika kedua orang tersebut melaporkan kepada Rasulullah saw. Apa
yang telah mereka lakukan, maka beliau membenarkan tindakan yang telah mereka
lakukan masing-masing. Beliau berkata kepada oaring yang tidak mengulang
sembahyangnya: “Perbuatanmu adalah sesuai dengan sunnah, karena itu shalat
yang sudah kamu kerjakan itu sudah cukup.” Kepada orang yang mengulang
shalatnya beliau berkata: “Kamu bakal memperoleh pahala dua kali.”
Selanjutnya, Sunnah ditinjau
dari sedikit atau banyaknya orang yang meriwayatkan, dibagi kepada 3
bagian :
1. Sunnah Muatawatiroh, Yaitu segala sesuatu dari
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereke bersepakat untuk berdusta, kemudian dari sahabat
diriwayatkan pula oleh para tabi’in dalam jumlah yang seimbang dengan
jumlah para sahabat. Yang meriwayatkan pada mula pertama.
2. Sunnah masyhuroh, yaitu segala sesuatu dari
Rasulullah yang diriwayatkan oleh seorang sahabat atau dua orang atau lebih
yang tidak sampai mencapai derajat mutawatiroh, kemudian dari sahabat tersebut
diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in yang mencapai derajat mutawatiroh dan
dari sekian banyak tabi’in diriwayatkan oleh sekian banyak rawi yang mutawatir
pula.
3. Sunnah Ahad, yaitu segala sesuatu dari Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dua atau lebih yang tidak sampai
derajat mutawatir, kemudian diriwayatkan oleh seorang tabi’in, dua tau lebih
dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-perawi dalam keadaan yang sama.
Kemudian sunnah/hadits Ahad ini terbagi kepada 3 bagian yaitu :
1). Sunnah/hadist Shahih. Ialah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan sempurna ketelitiannya, sanadnya
bersambung sampai Rasulullah, tidak mempunyai cacat.
2). Sunnah/hadist Hasan, ialah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya
bersambung sampai Rasulullah, tidak mempunyai cacat dan tidak berlawanan
degan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
3). Sunnah/Hadits dhaif. Hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.
3. Sumber Naqli Taba’iy: Ijma’
Ijma menurut istilah ahli ushul ialah kesepakatan para mujtahid
kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum
syar’i mengenai suatu peristiwa.
Sebagai realisasi dari ta’rif tersebut adalah apabila terjadi
suatu peristiwa dimana hukumnya belum ada didalam al-qur’an atau hadits, dan
peristiwa tersebut memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah
peristiwa itu dikemukakan kepada para mujtahid, mereka lalu mengambil
kesepakatan terhadap hukum peristiwa tersebut.
Oleh karena ijma itu adalah persesuaian pendapat para
mujtahid, maka ijma itu tidak akan terealisir sekiranya tidak memenuhi
empat (4) macam rukun sebagai berikut :
1. Pada masa terjadinya perististiwa itu harus ada beberapa orang
mujtahid. Sebab istilah kesepakatan pendapat itu tidak akan berwujud sekiranya
tidak ada beberapa macam pendapat yang masing-masing pendapat itu
bersesuaian dengan pendapat yang lain. Jikakalau dalam masa
terjadinya peristiwa itu tidak ada seorang mujtahid sama sekali, atau
tidak ada tetapi hanya seorang saja, maka tidaklah terjadi suatu ijma yang
dibenarkan syara. Oleh karena itu pada waktu Rasulullah SAW masih hidup ijma
itu tidak akan terjadi, karena beliau sajalah satu-satunya mujtahid pada waktu
itu.
2. Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara yang telah mereka
putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
3. Kesepakatan itu hendaknya dilahirkan secara tegas terhadap
peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan.
4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari
seluruh mujtahid.
Apabila rukun-rukun ijma ijma tersebut telah terpenuhi, maka hukum
hasil dari ijma itu merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati dan para
mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu
tempat berijtihad baru.
· Kehujahan Ijma
Sebagaimana halnya Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
mentaati Allah dan Rasul-Nya, juga memerintahkan untuk mentaati para pemimpin
mereka yang berkuasa, sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Nisa : 59, yang
artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan antara kamu sekalian
..(Q.S An-Nisa : 59)
Demikian pula banyak hadits-hadits yang menjelaskan terpeliharanya
umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan, sebagaimana
sabdanya yang artinya: ”Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan” (HR.
Ibnu Majah)
Oleh karena itu ijma terhadap hukum syara harus dibina di atas
sandaran syari’at. Sebab setiap mujtahid muslim terikat oleh
ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampauinya.
Selanjutnya, ditinjau dari segi terjadinya dan martabatnya,
ijma ada dua macam, yaitu :
1. Al-Ijma al-Sharih, yaitu ijma yang dengan tegas
persetujuannya dinyatakan, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
2. Al-Ijma al-Sukuty, yaitu ijma yang dengan
tegas persetujuannya dinyatakan oleh sebagian mujtahid, sedangkan
sebagian yang lainnya diam, tidak jelas apakah mereka menyetujui atau
menentang.
Ijma bentuk pertama disebut dengan al-Ijma al-haqiqy atau
al-Ijma al-qauly, merupakan hujah menurut pendapat jumhur, sedangkan ijma
bentuk kedua disebut al-ijma al-i’tibary menurut jumhur bukan hujah, hanya
ulama-ulama Hanafiyah menganggap al-ijma al-sukuty ini sebagai hujah,
karena diamnya seorang mujtahid dianggap menyutujui. Sedangkan menurut
jumlah ulama, termasuk Asy-Syafi’i, ijma sukuty tidak bisa dianggap hujah
karena:
1. Kepada seorang yang diam tidak bisa dinisbahkan sesuatu
pendapat, orang yang diam mungkin tidak setuju kepada sesuatu pendapat.
2. Seorang mujtahid yang diam (tidak mengeluarkan pendapat) tidak
bisa dianggap sebagai tanda persetujuan, sebab diamnya seseorang
mungkin setuju tapi mungkin pula sudah berijtihad tetapi tidak sampai pada
keputusan tersebut, mungkin pula karena takut dan mungkin pula diamnya
itu disebabkan hal-hal yang lain.
Di samping itu, ada pula yang menganggap bahwa ijma sukuti itu
hujah, tapi bukan ijma karena hakikat persetujuan (konsensus) tidak terdapat
padanya karena tidak seluruh mujtahid mengatakan pendapatnya. Dianggap hujah
karena lebih kuatnya (rajihnya) persetujuan dengan cara diam dari pada
penentangan.
Namun yang harus lebih dipahami bahwa suatu ijma diperlukan
suatu sandaran, karena para mujtahid yang mengadakan ijma tidaklah membuat
hukum baru. Hak untuk membuat hukum hanyalah ada pada Allah dan yang menjadi
sandaran ijma ini secara praktis adalah kitabullah atau sunnah Rasulullah.
4. Sumber Naqli Taba’iy: mazhab sahabat
5. Sumber Naqli Taba’iy: uruf
Secara etimologi ‘Urf’
berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat.
Menurut kebanyakan ulama ‘Urf’ dinamakan juga ‘Adat’ sebab
perkara yang telah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Para
ulama ushul Fiqih membedakan antara Adat’ dengan ‘Urf’ dalam kedudukannya
sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan dengan:
Adat
adalah sesuatu yang dilakukan secara
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Urf adalah
sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta
telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan
dengan nash syara.
Dengan
demikian ‘Urf’ bukanlah kebiasaan alami
sebagaimana berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi
muncul dari pemikiran dan pengalaman. Yang
dibahas ulama Ushul Fiqih dalam kaitannya
dengan dalil dalam menetapkan hukum syara
adalah ‘Urf’, bukan ‘Adat’.
Kehujjahan Urf
Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh tentang kehujahan 'urf.
v Golongan
Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa
'urf adalah hujah untuk menetapkan hukum.
v Golongan
Syafi‟iyyah
dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujah
atau dalil hukum syar‟i. Mereka beralasan, ketika
ayat ayat Alqur‟an turun, banyak sekali ayat yang
mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat .
6.Sumber
Naqli Taba’iy: Qaul Sahabi
Qaul shahabi
adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan
hukum, yang t idak dijelaskan dalam ayat atau
hadis.Yang dimaksud dengan shahabat menurut
ulama ushul fiqih adalah seseorang yang
bertemu dengan Rasulullah saw. beriman
kepadanya, mengikuti serta hidup bersamanya,
dalam waktu yang panjang, serta dijadikan
rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan
khusus dengan Rasulullah saw.
Kehujahan Qaul Shahaby
Pendapat
shahabat tidak menjadi hujjah atas shahabat
lainnya, hal ini telah disepakati para ulama ushul. Namun yang
masih diperselisihkan adalah apakah pendapat shahabat bisa menjadi hujjah atas
Tabi'in dan orang-orang yang telah datang setelah tabi‟in. Ulama ushul
memiliki tiga pendapat:
v
Ada yang mengatakan bahwa qaul shahaby secara
muthlaq tidak bisa dijadikan hujah.
v Satu pendapat
mengatakan bahwa madzhab shahabat bisa jadi hujah.
v Pendapat
lain menyatakan bahwa pendapat shahabat itu
jadi hujah, dan apabila pendapat shahabat bertentangan dengan
qiyas, maka pendapat shahabat didahulukan.
v
Ustadz Ali Hasaballah merangkum, bahwa seorang
mujtahid tidak dibebaskan untuk mencari dalil
dari pendapat seorang shahabat, bila ia
menemukannya tidak dibenarkan menyandarkannya
pada shahabat itu, akan tetapi bila tidak
menemukannya, maka mengikutinya adalah lebih baik ketimbang mengikuti pendapat
yang berdasarkan hawa nafsu.
B. Sumber ‘Aqliy (insaniy)
a.
Qiyas
Qiyas menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan hukum
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah
ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
Sesuai dengan tarif di atas tersebut, apabila ada suatu peristiwa
yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui
menurut suatu dari cara-cara mengetahui illat-illat hukum, kemudian
didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu
nash, tetapi illat hukumnya adalah sama dengan illat hukum dari peristiwa yang
sudah mempunyai nash tersebut, maka hukumnya peristiwa yang tidak ada nashnya
ini disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya
persamaan illat hukum pada kedua peristiwa itu.
Setiap qiyas memiliki empat rukun,
yaitu :
1. Ashal (pokok), yaitu peristiwa
yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengkiyaskan. Ashal itu juga
disebut dengan maqis ‘alaih (yang dijadikan tempat mengkiyaskan) atau mahmul
alaih (tempat membandingkannya) atau musyabbah bih (tempat menyerupakannya).
2. Far’u (cabang), yaitu peristiwa
yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan
hukumnya dengan ashalnya. Disebut juga maqia (yang dikiyaskan) dan musyabbah
(yang diserupakan).
3. Hukum Ashal, yaitu hukum syara
yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu
kepada cabangnya.
4. Illat, yaitu suatu sifat yang
terdapat pada peristiwa yang ashal, yang karena sifat itu maka peristiwa
ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula
pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang
ashal.
Oleh karena itu, menurut Jumhur Ulama maka qiyas itu menjadi hujjah
syar’iyah (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan
manusia. Dan berada pada tingkat keempat dari dalil-dalil syari’at.
b.
Istihsan
para ulama yang mempertahankan
istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata
istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti
Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه .اولئك الذين هدهم الله .
واولئك هم اولو الالبابز
Artinya: “Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan
bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang
terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan)
yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar
:55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah
memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa
ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini
dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ
حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan
apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk
pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun
demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan. Contoh
istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan
sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan,
hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan
berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh,
karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah
pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada
jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan
hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada
sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik
barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting
pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang
sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf
itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan
tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena
itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini
ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi
qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya
tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,
yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua: Syara’
melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu
barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku
untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi
syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan
tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah
dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian
diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian
rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli
dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan
adat kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan
ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu
memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah
ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang
membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan
qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal
itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping
Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab
Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak
menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut
mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam
Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang
yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan
istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu
arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang
dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka
masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi
berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul
karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.
Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
c.
Syar’un
ma qablan
Sesungguhnya syari’at samawi pada asalnya adalah satu. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Syura : 13
Artinya : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama, apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, yaitu
tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (al-Sura : 13)
Karena yang menurunkan syari’at samawi itu satu yaitu Allah SWT,
maka syari’at tersebut pada dasarnya adalah satu, meskipun kemudian Allah SWT
telah mengharamkan beberapa hal kepada sebagian kaum. Yahudi diharamkan untuk
memakan binatang-binatang yang berkuku, lemak sapi dan kambing.
Juga ditetapkan bahwa dosa tidak bisa dimaafkan kecuali dengan
membunuh diri dan pakaian yang kena najis tidak bisa jadi suci dengan dicuci
kecuali dengan dipotong kainnya. Selain itu juga bahwa bentuk dan cara-cara
ibadah (hubungan manusia dengan Allah berbeda dalam perincian meskipun intinya
sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Tauhidullah)).
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat
sebelum lahirnya syari’at Islam. Dengan datangnya syari’at Islam, tidak semua
hukum tersebut dihapuskan. Sebagian hukum-hukum umat yang terdahulu tetap
berlaku, seperti qishash. Hukum tersebut, di kalangan umat Islam, dikenal
sebagai syar’man qoblana, yang secara harfiah berarti syari’at umat
sebelum kita.
Di dalam menanggapi berlakunya syar’man qablana , ada
beberapa hal yang disepakati ulama. Pertama : bahwa hukum-hukum syara
yang ditetapkan bagi umat sebelum kita tidaklah dianggap ada tanpa melalui
sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam, nilai sesuatu hukum
didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam. Kedua : Segala
sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syari’ah Islamiyah, otomatis hukum
tersebut tidak berlaku bagi kita. Dengan demikian, hukum-hukum yang
dikhususkan untuk sesuatu umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam
seperti keharaman beberapa makanan/daging bagi Bani Israil. Ketiga :
Segala yang ditetapkan dengan nash-nash yang dihargai oleh Islam seperti
juga ditetapkan oleh agama-agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku
bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi, bukan karena
ditetapkan-Nya bagi umat yang telah lalu.seperti tentang qishash.
Sedangkan hukum umat sebelum kita yang tidak disepakati oleh ulama
tentang nilai atau kekuatannya adalah hukum-hukum samawi yang telah lalu yang
tidak ada dalil yang menetapkannya, ataupun menolaknya di dalam syari’at
Islamiyyah.
d.
Syadz
al-dzari’ah
Sadz al-Dzari’ah banyak disebut di dalam kitab-kitab Malikiyah dan
Hanabilah. Walaupun demikian secara praktis kita dapatkan pula di dalam fiqh
Hanafiah dan Syafi’i.
Dzari’ah artinya washilah atau jalan yang menyampaikan kepada
tujuan , yang dimaksud dengan dzari’ah di sini adalah ialah jalan untk sampai
kepada yang haram atau kepada yang halal. Jalan atau cara menyampaikan
kepada yang haram hukumnya haram dan cara yang menyampaikan kepada yang halal
hukumnya pun halal dan apa yang menyampaikan kepada wajib hukumnya adalah
wajib, bahkan ada suatu kaidah : Kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan
kecuali dengan adanya suatu hal maka hal tersebut adalah wajib.
Saddudz dzari’ah merupakan salah salah satu dari sumber-sumber
hukum syari’at. Imam Malik banyak menggunakan dasar ini di dalam pembahasan
kitab fiqhnya. Oleh karena pendukung-pendukung beliau terus memperluas
penggunaan dasar ini, sampai orang-orang menganggap bahwa saddudz
dzari’ah itu hanya dikembangkan oleh ulama malikiyah saja. Padahal
kenyataannya tidaklah demikian. Sebab-sebab ulama-ulama selain Malikiyah juga
menggunakan dasar ini, hanya saja ada perbedaan sedikit dalam mempraktekannya.
Adapun sumber hukum saddudz dzari’ah ialah ayat-ayat al-Qur’an dan
al-Hadits. Sedangkan sifat asal dan efek perbuatan yang ditimbulkannya ada
empat macam :
1. Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Seperti perbuatan
zina menjadi perantara adanya percampuran dan ketidakpastian status nasab
seseorang. Meminum khamar mengakibatkan hilangnya akal. Perbuatan-perbuatan
tersebut dilarang dengan hukum haram menurut kadar yang ditimbulkannya.
2. Dzari’ah yang diperbolehkan menurut asalnya dan orang mukallaf
yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertian yang asli, dan
perbuatan tersebut dapat membawa kepada kerusakan. Akan tetapi kemaslahatan
yang terdapat di dalamnya lebih kuat daripada kerusakannya.
3. Dzari’ah yang diperbolehkan menurut asalnya dan orang
mukallaf yang melakukannya tidak ada niat selain menurut
pengertiannya yang asli, akan tetapi dapat membawa kepada kerusakan
yang lebih berat. Dengan kata lain akibat kerusakannya lebih berat
daripada kemaslahatannya. Misalnya berdandan bagi seorang istreri yang baru
saja ditinggal mati suaminya.
4. Dzari’ah yang menurut asalnya diperbolehkan, akan tetapi orang
yang mengerjakannya bermaksud menggunakannya sebagai media kepada kemafsadatan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelaslah bahwa saddudz
dzari’ah digunakan digunakan oleh ulama hanya mereka berbeda pendapat
di dalam menentukan ukurannya.
e.
Maslahah Mursalat
Adalah suatu
kemashlahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya.
Manfaat
(maslahat) yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah) adalah sifat
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata
antara Pencipta dan makhluk-Nya.
Setiap hukum
yang didirikan atas dasar mashlahah dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
v Melihat
mashlahah pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai
pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang. Akte nikah tersebut
memiliki kemashlahatan. Akan tetapi kemashlahatan tersebut tidak didasarkan
pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut.
v Melihat sifat
yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-manasib) yang mengharuskan adanya
suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemashlahatan. Misalnya suatu akte
nikah itu mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’, antara lain untuk
menjaga status keturunan. Akan tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan
oleh dalil khusus. Oleh karena itu, dari sisi ini ia disebut
al-munasibal-mursal (kesesuaian dengan tujuan syaria’t yang terlepas dari
dalil-dalil syara’ yang khusus).
v Melihat proses
penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus.
Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah
satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini disebut istishlah (menggali dan
menetapkan suatu mashlahat).
pendapat para
ulama tentang al-mashlahah al-mursalah ini dapat dibagi dalam empat pandangan,
yaitu:
v al-Qadhi dan
beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak ada
dasarnya;
v Imam Malik
menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak;
v Maslahah mursalah dapat menjadi
hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam syafi`i,
tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama
ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang maslah ini,
hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan
kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan
hukumitu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman
ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka
lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena
luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat
sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini
hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui
kebenarannya
v Imam Ghazali
berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsinatau
tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih jelas.
Adapun bila berada pada martabat penting boleh memakainya, tetapi harus memnuhi
beberapa syarat.
Dari beberapa
pendapat di atas, hanya Imam Malik yang menerima istishlah secara mutlak.
Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Ada bebrapa dasar hukum atau dalil
mengenai diberlakukannya teori Maslahah Mursalah diantaranya adalah :
a) Al Quran.
Di antara
ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah
SWT.
Artinya:
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh
alam (Q.S. Al Anbiya : 107)
Artinya
: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman. ( Q.S. Yunus : 57).
b) Hadits.
Hadits yang dikemukakan sebagai landasan
syar’i atas kehujahan maslahah mursalah adalah sabda Nabi saw.
Artinya:Tidak boleh berbuat madhorot dan pula saling
memadhorotkan.(H.R. lbnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini
berkualitas hasan)
c) Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf
Dalam memberikan contoh maslahah
mursalah di muka telah dijelaskan, bahwa para sahabat seperti Abu Bakar As
Shidik, Umar bin Khathab dan para imam madzhab telah mensyariatkan aneka ragam
hukum berdasarkan prinsip maslahah. Disamping dasar-dasar tersebut di atas,
kehujahan maslahah musrsalah juga didukung dalil-dalil aqliyah (alasan
rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya Ilmu
Ushulil Fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang tidak ada
habisnya, karenanya, kalau tidak ada syariah hukum yang berdasarkan maslahat
manusia berkenaan dangan maslahah baru yang terus berkembang dan pembentukan
hukum hanya berdasarkan prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syar saja,
maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia
di setiap masa dan tempat akan terabaikan.
Para
ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa
dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :
a.
Persoalan
yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan
dan keperluan hidupnya.
b. Sebenarnya
para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang
sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun
sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.
f.
Istishab
Adalah
menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang
menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada
masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan perubahannya.
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menyatakan kedudukan istishab sebagai dalil syara. Kalangan ulama dan mazhab maliki, Hambali dan Syafi’I menjadikan Istishab sebagai dalil yang menetapkan hukum yang telah ada selama tidak ada dalil dalam menetapkan hukum yang mengubahnya. Baik secara qath’I atau zanni maka hukum itu tetap berlaku karena diandaikan belum ada perubahan terhadapnya.
Manakala ada kalangan ulama mutakallimin menyatakan bahwa istishab tidak boleh dijadikan sebagai dalil mereka menyatakan hukum telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandar kepada dalil, begitu juga menetapkan perkara sekarang dan masa yang akan datang.
Pendapat ulama mutaakhirin menyatakan boleh menerima Istishab sebagai hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa akan datang sehingga ada dalil mengubahnya. Namun istishab tidak boleh digunakan menetapkan hukum yang aka nada (baru).
Jadi berdasarkan pendapat ini sesuatu hukum yang telah berlaku dan tidak ada dalil yang membatalkannya maka hukum tersebut terus berjalan, namun dalam lainnya tidak dipakai dalam menetapkan hukum yang baru.
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar