BAB III
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN NASKH
a.
Secara bahasa naskh mengangdung dua
pengertian. Pertama, Naskh berarti penghapusan atau peniadaan (izalah).
Kedua, naskh berarti pemindaan (naql) dari suatu keadaan kepada
keadaan lain. Secara istilah, ada dua definisi naskh yang dikemukakan
para ahli ushul fiqh. Definisi pertama sebagaimana berikut:
b.
النسخ هو بيا ن انتهاء أمدكم بط شرعي مترخ عنه
Artinya: Naskh adalah penjelasan berakhirnya
masa berlakunya suatu hukum melalui dalil syara’ yang kemudian datang.
Definisi kedua dapat diamati dari rumusan
berikut:
النسخ هو رفع
حكم شرعي بدليل شرعي متأخر منه
Artinya: Naskh adalah pembatalan
hukum syara’ yang telah ditetapkan terdahulu dengan dalil syara yang datang
kemudian.
Maka dari kedua
definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, pertama naskh atau
pembatalan itu dilakukan dengan khitab atau tuntutan Allah Swt. maka naskh
tidak dapat dilakukan oleh selain Allah. Kedua, hukum yang dibatalkan lebih
dahulu datangnya daripada hukum yang yang membatalkan.
1).
Rukun Naskh
Melalui
definisi naskh terdahulu diketahui ada empat rukun naskh, yaitu:
1. Adat an-Naskh,
yaitu ungkapan yang menunjukan pembatalan berlakunya hukum yang terdahulu.
2. Nasikh,
yaitu Allah Swt. karena Ialah yang berhak menetapkan dan membatalkan hukum.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan,
dihapuskan atau dipindahkan.
4. Mansukh Anhu, yaitu orang yang
dibebani taklif atau hukum.
2).
Syarat syarat Naskh
Jumhur Ulama
menyatakan beberapa syarat terjadinya naskh sebagai berikut:
1. Bahwa
yang dibatalkan itu merupakan sesuatu yang dapat menerima pembatalan
2. Bahwa
yang dibatalkan tersebut adalah hukum syara’
3.
Pembatalan itu datang dari khitab (tuntutan) syara’
4. Bahwa
yang membatalkan terpisah dan datang kemudian dari yang dibatalkan
5. Bahwa
yang membatalkan sama kuatnya atau lebih kuat dari yang membatalkan
6. Bahwa
yang dibatalkan tidak terkait dengan waktu tertentu
3). Bagaimana Cara Untuk Mengetahiu Naskh.
Untuk
mengetahui adanya naskh, ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai,
yaitu:
1.
Nash Al-Quran yang secara lahir menjelaskan
bahwa yang satu sebagai nasikh terhadap nash lain. Misalnya firman Allah surat
al-Anfal, 66:
Artinya: “sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang,
dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS.
al-Anfal: 66). Ayat ini membatalkan
surat al-Anfal ayat 65 sebagai berikut:
Artinya: “jika
ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS. Al-Anfal: 65)
2.
Perkataan dan perbuatan nabi secara jelas
menunjukkan terjadinya naskh.
Misalnya,
larangan nabi kepada Ummat Islam menziarahi kubur, tatapi kemudian Ia
membolehkannya.
3.
Ijma’ Sahabat yang menegaskan suatu dalil menjadi
nasikh atau membatalkan dan dalil lain telah dimansukh atau telah dibatalkan.
Misalnya, dibatalkannya puasa Asyura dengan kewajiban melaksanakan puasa ramadlan.
4. Pemberitaan
dari sahabat bahwa salah satu dari hukum lebih dahulu turun dan yang lain
datang kemudian. Misalnya, pernyataan sahabat bahwa ayat ini diturunkan sesudah
ayat ini, hadits yang disampaikan fulan diucapkan Nabi Saw. Pada saat perang Badar
dan hadits ini disampaikan Nabi pada perang Uhud.
5. Pemberitaan
sahabat bahwa salah satu dari dua hukum ini adalah hukum syara’, sedangkan yang
lain adalah hukum yang didasarkan pada adat sebelum Islam. Dengan demikian,
hukum syara’ membatalkan hukum yang sebelumnya.
4).
Contoh- contoh naskh:
Ø Naskh Al-Quran
dengan Al-Quran
Semisal dalam
permasalahan iddah wanita yang ditinggal mati sauami selama setahun penuh pada
surat al-Baqarah, 240 berikut ini:
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعًا
إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللهُ عَزِيزُ حَكِيمُ –
البقرة :
Artinya: “dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Ayat ini
dibatalkan hukumnya oleh Allah Swt dalam surat al-Baqarah, 234 berikut: Dinaskh
dengan ayat Al-Baqarah : 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ * - البقرة : 234
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka
tiada dosa bagimu(para wali) memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah
/2:234)
Dan hukum tersebut bagi
yang tidak hamil, bagi yang hamil dinaskh denga ayat Al-Thalaq : 4
وَالاَّئِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن
نِّسَآئِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَالاَّئِى لَمْ
يَحِضْنَ وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حِمْلَهُنَّ وَمَن
يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا – الطلاق : 4
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus
asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa
yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya. (QS. 65:4)
Ø Naskh Sunnah dengan
Sunnah (Dalam hal ini para ulama membatasi hanya denga sunnah mutawatiroh,
sebagaimana menurut imam Maliky, Abu Hanifah, mazhab al-Asy’ary dan
Mu’tazilah), dan naskh ini ditolak oleh mazhab syafi’ih, dengan alasan ayat
Al-Baqarah : 106, bahwa Al-Qur’an tidak lebih baik kedudukannya dengan as-sunnah.
Dari hadis yang
lain, Semisal larangan nabi kepada Ummat Islam menziarahi kubur yang kemudian
dibatalkan melalui hadits yang sama, yaitu:
كنت نهيتكم عن
زيارة القبور ألا فزورها
Artinya: “aku melarang kamu menziarahi
kubur, sekarang ziarahilah kubur.” (HR. Muslim)
Ø Naskh Sunnah dengan
Al-Quran
Jumhur Ulama
termasuk didalamnya Zahiriyyah membolehkan adanya naskh Sunnah dengan
Al-Quran, sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah, 144:
قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ
الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ * - البقرة :
144
Artinya: “sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja
kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-Baqarah:
144)
Ayat ini membatalkan hukum yang telah
ditetapkan Sunnah, yaitu menghadap ke Baitul Maqdis dalam melaksanakan Sholat.
Imam Syafi’I berpendapat tidak boleh membatalkan Sunnah dengan al-Quran. Ia
berpegang pada firman Allah Swt. dalam surat an-Nahl berikut:
Artinya: “dan Kami turunkan kepadamu Al
Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. an-Nahl: 44)
Melalui
kandungan ayat ini diketahui bahwa sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap
al-Quran, maka fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap al-Quran tidak terwujud.
Hal ini tidak logis dan tidak dapat diterima.
Ø Naskh Al-Quran
dengan Sunnah
Jumhur Ulama
termasuk didalamnya Ibnu Hazm menerima adanya naskh Al-Quran dengan
Sunnah. Sebagaimana dibatalkannya ayat-ayat tentang wasiat terhadap kedua orang
tua dan karib kerabat dengan hadits Nabi Saw. Berikut:
ألالاوصية لوارث
Artinya: “ketahuilah
tidak boleh berwasiat terhadap ahli waris.”
Dalam katagori
ini, ulama membolehkan, dengan ketentuan :
a.
Naskh mutawwatir dengan mutawatir,
b.
Naskh ahad dengan ahad,
c.
Naskh ahad dengan mutawatir,
d.
Naskh mutawatir dengan ahad
Dan ulama menyepakati dalam tiga bentuk yang
pertama, sedang bentuk keempat dalam perselisihan pendapat.
Pada bagian ini
ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi.
Contohnya: FirmanAllahAzzawaJalla.
قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ
Artinya :"Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain
Allah. (Al An’am :145)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat
ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging
keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini
dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang
mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am,
yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan
ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah
studi Khoibar.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah
dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu
mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau
seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”.
Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan
orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging
keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan,
sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak).
Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai
jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas
turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis
makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging keledai jinak.
(Mudzakiroh, hal: 153-155)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar