BAB IV
PEMBAHASAN
3.
PENGERTIAN TARJIH
a. Dari segi bahasa.
Secara etimologi berarti”menguatkan”,sedangkan menurut terminology,
ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
1.
Menurut
ulama hanafiyah
التر جيح هوا
ظهار زيا دة لا حد المتما ثلين على الا خر بما لا يستقل
Artinya:”
memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama
(sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri”.
2.
Menurut
Jumhur Ulama
التر جيح
هوعبارة عن اقتران احد الصا لحين للدلالة علي المطلوب, مع تعارضهما بما يوجب العمل
به واهمال الاخر.
Artinya: "Tarjih
adalah: ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang pantas
yang menunjukkan kepada apa yang dikehendaki, di samping keduanya berbenturan
yang mewajibkan untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya dan mengabaikan
yang lain".
pandangan ulama
ushul fiqih dalam melakukan tarjih.
a.
cara pentarjihan
Para ulama usul fiqh mengemukakan bahwa cukup banyak
cara pentarjihan yang bisa dilakukan apabila antara dua dalil secara dhahir
(teks) terdapat pertentangan (ta`arudh) dan tidak mungkin dilakukan al-jama`
wa al-tawfiq (penggabungan) atau al-nasakh (menghapuskan). Adapun mengenai cara-cara pentarjihan pada dasarnya dapat dikelompokkan
dalam dua kelompok besar, yaitu: (1). Al-tarjih baina
al-nusush, artinya menguatkan salah satu nash (ayat atau
hadith) yang saling bertentangan. (2). Al-tarjih baina al-aqyisah,
yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang saling bertentangan.
1.
Al-Tarjih Baina al-Nusush
Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan
salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling bertentangan. Untuk mengetahui
kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang
dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu: (a). Dari segi sanad (para perawi hadith). (b). dari segi matan (teks)
hadith. (c). Dari segi hukum atan kandungan hadith (madlul) . (d). Pentarjihan
dengan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash (amr al-kharij).
a. Dari Segi Sanad (
Para Perawi Hadith)
Imam al-Syawkany (
1172-1250 H/ 1759-1828 M) berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan dengan
42 cara, yang di antaranya dikelompokkan kepada:
v Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi hadith. Jumhur
ulama hadith yang sanadnya lebih banyak ditarjihkan dari hadith yang sanadnya
lebih sedikit. Karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam suatu hadith yang
diriwayatkan oleh banyak perawi sangat kecil. Sedangkan Abu Hanifah (80-150 H/
699-767 M), Abu Yusuf (113- 182 H/ 731- 798 M) dan Abu al-Hasan Ubaidillah bin
Hasan al-Karkhi (260-340 H/ 874-952 M) keduanya ahli fiqh mazhab Hanafi
berpendapat bahwa suatu dalil tidak bisa ditarjih hanya dengan banyaknya perawi
semata, kecuali jumlah perawi itu melebihi tiga orang (hadith Masyhur). Mereka
menganalogikan kepada kasus persaksian yang bertentangan, bahwa hakim tidak
boleh memutuskan suatu perkara atas dasar persaksian yang lebih banyak orangnya. Jumhur juga berpendapat bahwa pentarjihan boleh dilakukan berdasarkan
kualitas perawi, misalnya hadith yang perawi lebih tsiqah (terpercaya)
ditarjihkan dari pada hadith yang perawinya kurang tsiqah. Demikian pula hadith
yang perawinya lebih dhabit (kuat hafalan) ditarjihkan daripada hadith yang
kurang dhabitnya.
v Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri.
Yaitu hadith Mutawatir dikuatkan dari hadith Masyhur atau menguatkan
hadith Masyhur daripada hadith Ahad. Bisa juga dilakukan dengan cara
melihat persambungan sanadnya, yaitu mentarjih hadith yang sanadnya bersambung
sampai kepada Rasulullah SAW dari hadith yang sanadnya terputus.
v Pentarjihan melalui cara menerima hadith dari Rasulullah SAW.
Yaitu menguatkan hadith yang langsung didengar dari Nabi SAW dari pada
hadith yang didengar melalui perantaraan orang lain atau tulisan. Dirajihkan
juga riwayat yang memakai lafal langsung dari Nabi SAW yang menunjukkan kata
kerja, seperti kata naha (melarang), amara (memerintahkan), dan adzina
(mengizinkan), daripada riwayat yang lainnya. Begitu juga dalam kasus hadith
Ahad dari segi muatannya, yaitu hadith Ahad yang muatannya tidak menyangkut
orang banyak lebih didahulukan dari hadith Ahad yang muatannya menyangkut orang
banyak. Pentarjihan ini dilakukan karena kesaangsian mereka terhadap kebenaran
hadith Ahad yang menyangkut orang banyak. Sebab ulama Hanafiyyah, hadith Ahad
yang meyangkut orang banyak tidak mungkin disampaikan Nabi SAW hanya kepada
satu, dua, atau tiga orang saja.
b. Dari Segi Matan
Yang dimaksud dengan matan di sini adalah teks ayat, hadith, atau
ijma`. Imam al-Amidi ahli ushul fiqh mazhab Syafi`i (551-631 H/ 1156-1233 M),
mengemukakan 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, di antaranya adalah:
v Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung
perintah, karena menolak kemudharatan lebih utama daripada mengambil manfaat.
v Teks yang mangandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung
kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus kebolehan sudah
tercakup di dalamnya.
v Makna hakikat suatu lafaz lebih didahulukan darpada makna majaz.
v Dalil Khusus lebih didahulukan dari dalil umum.
v Teks umum yang belum ditakhsis lebih didahulukan daripada teks umum
yang telah ditakhsis.
v Teks yang berupa perkataan lebih didahulukan daripada teks yang berupa
perbuatan.
v Teks yang muhkam lebih didahulukan dari teks mufassar.
v Teks yang sarih (jelas) lebih didahulukan daripada teks yang
berupa kinayah (sindiran).
c. Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum
Cara pentarjihan melalui metode ini, Imam al-Amidi mengemukakan ada 11
cara, sedangkan Muhammad ibn Ali al-Syawkani menyederhanakannya menjadi 9 cara,
di antaranya sebagai berikut:
v Teks yang mengandung bahaya Jumhur lebih
didahulukan dari teks yang membolehkan. Alasannya hadith Rasulullah SAW:
ما اجتمع الحلا
ل والحرام الا غلب الحرام.
)رواه البيهقى)
Artinya:
"Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram,
kecuali yang haram lebih dominan". (HR. Al-Baihaqy).
Namun
Imam al-Gazaly (pakar usul Fiqh mazhab Syafi`i) mengatakan kedua hukum itu
digugurkan saja, karena secara kualitas kedua dalil itu adalah sama. Menurutnya,
teks yang membolehkan itu didukung oleh hukum asal pada sesuatu, yaitu boleh,
sedangkan hukum yang dilarang itu menggiring seseorang untuk hati-hati maka
kualitas keduamya adalah sama. Dalam keadaan seperti ini sulit untuk mentarjih
salah satu di antara keduanya. Oleh sebab itu kedua
hukum yang dikandung teks yang bertentangan itu digugurkan saja.
v
Suatu teks yang
mengandung hukum menetapkan, sedangkan yang lain meniadakan, maka dalam
hal seperti ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya Ibn `Abbas
meriwayatkan sebuah hadith bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah dalam
keadaan ihram sebagaimana hadith berikut ini:
انه صلى الله
عليه وسلم تزوج ميمو نة بنت الحارث وهو محرم
) رواه البخارى
ومسلم)
Artinya: "
Sesungguhnya Nabi SAW mengawini Maimunah binti al-Harith sewaktu beliau sedang
ihram". (HR.Bukhari dan Muslim).
Hadith ini berlawanan dengan hadith Abu Rafi`
yang mengabarkan berikut ini:
انه صلى الله
عليه وسلم تزوجها وهو حلال. (رواه مالك)
Artinya:
"Bahwasanya Nabi SAW mengawini maimunah binti al-Harith pada beliau sudah
bertahallul". (HR. Malik)
Dalam
kasus seperti ini, ulama Syafi`iyyah teks yang sifatnya meniadakan lebih
didahulukan dari teks yang sifatnya menetapkan. Kasus perkawinan Rasulullah SAW
di atas, riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW tidak dalam keadaan ihram lebih
didahulukan dari riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW sedang ihram. Alasannya
bahwa Abu Rafi` pada waktu itu bersama-sama beliau, maka sudah barang tentu ia
lebih tahu atas peristiwa itu daripada Ibnu `Abbas yang saat itu tidak ikut
pergi bersama Rasulullah SAW
`Imam
al-Gazaly berpendapat kedua hukum tersebut digugurkan, karena kemungkinan
keduanya benar dan kemungkinan salah. Oleh sebab itu, menurutnya harus dicari
indikasi lain dalam pentarjihan tersebut.
Apabila
isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain
mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka didahulukan yang pertama yaitu
menghindarkan terpidana dari hukuman. Sesuai dengan sabda Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
عن عائشة رضى
الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ادرؤالحدود عن المسلمين
ماا ستطعتم ... (رواه الترمذى).
Artinya:
"Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudud terhadap muslim selama kamu
mampu". (HR. Al-Turmudzi).
Teks yang mengandung hukuman ringan lebih didahulukan dari pada teks
yang di dalamya mengandung hukuman berat. Karena Syari`at Islam mengandung
azas keringanan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah(2):185.
يريد الله بكم
اليسر ولا يريد بكم العسر.
Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran".
d. Pentarjihan dengan
Menggunakan Faktor (dalil) Lain di Luar Nash (amr al-Kharij).
Al-Amidi mengemukakan
lima belas cara pentarjihan dengan menggunakan faktor di luar nash. Dan Imam
al-Syawkani meringkasnya menjadi sepuluh cara, di antaranya:
v Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil
lain, baik dalil itu al-Qur`an, Sunnah, ijma`, maupun logika.
v Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah,
karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya al-Qur`an dan penafsirannya
serta adanya anjuran Rasulullah SAW untuk mengikuti mereka.
v Mendahulukan nash yang menyebutkan `illat (motivasi) hukumnya daripada
nash yang tidak menyebutkan `illatnya.
v Mendahulukan dalil yang mengandung kehati-hatian (ihtiyath)
daripada dalil yang tidak menyebutkan demikian.
v Mendahulukan dalil yang dibarengi dengan perbuatan atau perkataan
perawinya dari dalil yang tidak demikian halnya.
2. Tarjih Bain
al-Aqyisah
Ta`arudh dengan segala macam cara penyelesaiannya tersebut di atas
adalah bertentangan antara dua dalil syara` yang berupa nash. Di samping itu
ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil syara` yang bukan nash yaitu
ta`arudh antara qiyas dengan qiyas. Muhammad bin `Ali al-Syawkani mengemukakan
tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan
(ta`arudh). Ketujuh belas macam pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah
al-Zuhaily (guru besar fikih Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah)
menjadi empat kelompok, yaitu: 1). Tarjih dari segi hukum asal. 2). Tarjih dari
segi hukum furu`. 3) Tarjih dari segi `illat. 4) Tarjih melalui faktor luar.
1). Tarjih dari Segi Hukum Asal.
Pentarjihan qiyas dari
segi hukum asal, Imam al-Syawkani bisa menggunakan enam belas cara, di
antaranya:
v Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat qath`i dari qiyas
yang hukum asalnya zanni, karena yang qath`i lebih kuat dari yang zanni.
v Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma` dari qiyas yang landasan
dalilnya nash. Sebab nash itu bisa di-takhsis, di takwil, dan di-nasakh,
sedangkan ijma` tidak. Cara seperti ini dibantah dan ditolak oleh Imam Haramain
al-Juwaini (419- 478 H/ 1028- 1085 M. / ahli usul fiqh Syafi`i). Menurutnya,
ada kemungkinan qiyas yang di tetapkan berdasarkan al-Qur`an atau hadith lebih
kuat dari qiyas yang di dasarkan kepada ijma`, karena ijma` itu sendiri harus
di landaskan kepada nash. Dengan demikian, ijma` itu merupakan cabang dari
nash, yang sifatnya tidak boleh di dahulukan dari asal. Pendapat ini di dukung
oleh ulama usul fiqh Syafi`iyyah lainnya, Imam Baidhawy (w. 685 H/ 1287 M).
v Menguatkan qiyas yang `illatnya di dukung oleh dalil khusus dari qiyas
yang `illatnya tidak didukung oleh dalil khusus.
v Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas dari qiyas yang
tidak sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas.
v Menguatkan qiyas yang disepakati ulama tidak dinasakhkan dari qiyas
yang tidak disepakati kemudian dinasakhkan.
v
Menguatkan qiyas yang
hukum asalnya bersifat khusus dari qiyas yang hukum asalnya bersifat umum.
2). Tarjih dari Segi
Hukum Furu`
Di antaranya adalah dengan cara:
v Menguatkan hukum furu` yang datang kemudian dari asalnya yang hukum
furu`nya lebih dahulu dari hukum asal.
v Menguatkan hukum furu` yang `illatnya diketahui secara qath`i dari
hukum furu` yang `illatnya bersifat dhanni.
v Menguatkan hukum furu` yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash
dari hukum furu` yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafsil
(rinci).
3). Tarjih dari Segi
`Illat.
Pentarjihan berdasarkan `illat dapat dibagi dua, yaitu dari segi cara
penetapan `illat dan dari segi sifat `illat itu sendiri. Adapun pentarjihan
dari segi cara penetapan `illat, antara lain:
v Menguatkan `illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai
`illat dari yang tidak demikian.
v Menguatkan `illat yang dilakukan dengan metode al-sabru wa al-taqsim
(pengujian, analisis, dan pemilahan `illat) yang dilakukan oleh para mujtahid
dari `illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara
`illat dengan hukum.
v Menguatkan `illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari `illat
yang ditetapkan melalui munasabah karena isyarat dari nash lebih kuat dari
`illat yang ditetapkan berdasarkan dugaan mujtahid.
Sementara pentarjihan
dari segi sifat `illat, antara lain:
v Menguatkan `illat yang bisa diukur dengan `illat yang bersifat relatif
dan tidak bisa diukur.
v Menguatkan `illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada kasus lain dari
`illat yang sifatnya terbatas pada suatu kasus saja.
v Menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok
(dharuriyyah) dari `illat yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan penunjang
(hajiyyah). Demikian pula menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan
hajiyyah dari `illat yang terkait dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
v Menguatkan `illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum,dari `illat
yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.
4) Tarjih Qiyas
Melalui Faktor Luar.
Pentarjihan qiyas melalui faktor-faktor di luar qiyas dapat dilakukan
antara lain dengan hal sebagai berikut:
v Menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah `illat dari qiyas yang
hanya didukung oleh satu `illat.
v Menguatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat (bagi yang menjadikan
fatwa sahabat sebagai salah satu dalil syara`) dari qiyas yang tidak demikian.
v Menguatkan qiyas yang `illat berlaku pada seluruh furu` dari`illat yang
hanya berlaku pada sebagian furu` saja.
v Menguatkan qiyas yang `illatnya didukung oleh sejumlah dalil dari qiyas
yang hanya `illatnya hanya didukung oleh satu dalil saja.
c. tarjih dari
segi illat
Dari segi illatPen-tarjih-an ini dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1.
Pentarjihan
dari segi cara penetapan illat
2.
Menguatkan
illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak
demikian.
3.
Menguatkan
illat yang dilakuakan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis
dan pemilihan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang melakukan
metode munsabah (keserasian) antara illat dengan hukum.
4.
Menguatkan
illat yang didalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui
munasabah (keserasian),karena isyarat nash lebih baik dari pada dugaan
mujtahid.
5.
Pentarjihan
dari sifat illat
a.
Menguatkan
illat yang bias di ukur dari pada yang relatif
b.
Menguatkan
illat yang sifatnya bias dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas
pada satu hukum saja.
c.
Menguatkan
illat yang berkaitan dengan masalah yang penting dari pada yang bersifat
hajjiyat(penunjang).dan dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatn yang
bersifat hajjiyat dari pada yang bersifat tahsiniyyat(pelengkap)
d.
Menguatkan
illat yang melatarbelakangi suatu hukum,dari pada illat yang bersifat indicator
saja terhadap latar belakng hukum.
6.
Pentarjihan
Qiyas melalui factor luar
a.
Menguatkan
qiyas yang didukung oleh satu illat
b.
Menguatkan
qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat( bagi yang berpendapat
c.
bahwa
pendapat sahabat sebagai dalil)
d.
Menguatkan
illat yang bias berlaku furu’ dari pada yang bias berlaku furu’ saja .
e.
Mendukung
qiyas yang didukung lebih dari satu dalil
izin share ya
BalasHapus^_^
oke kaka,, gpp kok
Hapusdaftar pustakanya minnn
BalasHapus