Kamis, 12 Desember 2013

PENGERTIAN TARJIH



BAB IV
PEMBAHASAN

3. PENGERTIAN TARJIH
a. Dari segi bahasa.
Secara etimologi berarti”menguatkan”,sedangkan menurut terminology, ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
1.      Menurut ulama hanafiyah
التر جيح هوا ظهار زيا دة لا حد المتما ثلين على الا خر بما لا يستقل

Artinya:” memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri”.
2.      Menurut Jumhur Ulama
التر جيح هوعبارة عن اقتران احد الصا لحين للدلالة علي المطلوب, مع تعارضهما بما يوجب العمل به واهمال الاخر.
Artinya: "Tarjih adalah: ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang pantas yang menunjukkan kepada apa yang dikehendaki, di samping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya dan mengabaikan yang lain".
pandangan ulama ushul fiqih dalam melakukan tarjih.
a.      cara pentarjihan
Para ulama usul fiqh mengemukakan bahwa cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan apabila antara dua dalil secara dhahir (teks) terdapat pertentangan (ta`arudh) dan tidak mungkin dilakukan al-jama` wa al-tawfiq (penggabungan) atau al-nasakh (menghapuskan). Adapun mengenai cara-cara pentarjihan pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu: (1). Al-tarjih baina al-nusush, artinya menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith) yang saling bertentangan. (2). Al-tarjih baina al-aqyisah, yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang saling bertentangan.
1. Al-Tarjih Baina al-Nusush
   Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu: (a). Dari segi sanad (para perawi hadith). (b). dari segi matan (teks) hadith. (c). Dari segi hukum atan kandungan hadith (madlul) . (d). Pentarjihan dengan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash (amr al-kharij).
a. Dari Segi Sanad ( Para Perawi Hadith)
Imam al-Syawkany ( 1172-1250 H/ 1759-1828 M) berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan dengan 42 cara, yang di antaranya dikelompokkan kepada:
v  Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi hadith. Jumhur ulama hadith yang sanadnya lebih banyak ditarjihkan dari hadith yang sanadnya lebih sedikit. Karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam suatu hadith yang diriwayatkan oleh banyak perawi sangat kecil. Sedangkan Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M), Abu Yusuf (113- 182 H/ 731- 798 M) dan Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi (260-340 H/ 874-952 M) keduanya ahli fiqh mazhab Hanafi berpendapat bahwa suatu dalil tidak bisa ditarjih hanya dengan banyaknya perawi semata, kecuali jumlah perawi itu melebihi tiga orang (hadith Masyhur). Mereka menganalogikan kepada kasus persaksian yang bertentangan, bahwa hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara atas dasar persaksian yang lebih banyak orangnya. Jumhur juga berpendapat bahwa pentarjihan boleh dilakukan berdasarkan kualitas perawi, misalnya hadith yang perawi lebih tsiqah (terpercaya) ditarjihkan dari pada hadith yang perawinya kurang tsiqah. Demikian pula hadith yang perawinya lebih dhabit (kuat hafalan) ditarjihkan daripada hadith yang kurang dhabitnya.
v  Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri.
Yaitu hadith Mutawatir dikuatkan dari hadith Masyhur atau menguatkan hadith Masyhur  daripada hadith Ahad. Bisa juga dilakukan dengan cara melihat persambungan sanadnya, yaitu mentarjih hadith yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dari hadith yang sanadnya terputus.
v  Pentarjihan melalui cara menerima hadith dari Rasulullah SAW.
Yaitu menguatkan hadith yang langsung didengar dari Nabi SAW dari pada hadith yang didengar melalui perantaraan orang lain atau tulisan. Dirajihkan juga riwayat yang memakai lafal langsung dari Nabi SAW yang menunjukkan kata kerja, seperti kata naha (melarang), amara (memerintahkan), dan adzina (mengizinkan), daripada riwayat yang lainnya. Begitu juga dalam kasus hadith Ahad dari segi muatannya, yaitu hadith Ahad yang muatannya tidak menyangkut orang banyak lebih didahulukan dari hadith Ahad yang muatannya menyangkut orang banyak. Pentarjihan ini dilakukan karena kesaangsian mereka terhadap kebenaran hadith Ahad yang menyangkut orang banyak. Sebab ulama Hanafiyyah, hadith Ahad yang meyangkut orang banyak tidak mungkin disampaikan Nabi SAW hanya kepada satu, dua, atau tiga orang saja.
b. Dari Segi Matan
Yang dimaksud dengan matan di sini adalah teks ayat, hadith, atau ijma`. Imam al-Amidi ahli ushul fiqh mazhab Syafi`i (551-631 H/ 1156-1233 M), mengemukakan 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, di antaranya adalah:
v  Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemudharatan lebih utama daripada mengambil manfaat.
v  Teks yang mangandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus kebolehan sudah tercakup di dalamnya.
v  Makna hakikat suatu lafaz lebih didahulukan darpada makna majaz.
v  Dalil Khusus lebih didahulukan dari dalil umum.
v  Teks umum yang belum ditakhsis lebih didahulukan daripada teks umum yang telah ditakhsis.
v  Teks yang berupa perkataan lebih didahulukan daripada teks yang berupa perbuatan.
v  Teks yang muhkam lebih didahulukan dari teks mufassar.
v  Teks yang sarih (jelas) lebih didahulukan daripada teks yang berupa kinayah (sindiran).
c. Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum
Cara pentarjihan melalui metode ini, Imam al-Amidi mengemukakan ada 11 cara, sedangkan Muhammad ibn Ali al-Syawkani menyederhanakannya menjadi 9 cara, di antaranya sebagai berikut:
v  Teks yang mengandung bahaya Jumhur lebih didahulukan dari teks yang membolehkan. Alasannya hadith Rasulullah SAW:
ما اجتمع الحلا ل والحرام الا غلب الحرام.       )رواه البيهقى)
Artinya: "Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali   yang haram lebih dominan". (HR. Al-Baihaqy).
Namun Imam al-Gazaly (pakar usul Fiqh mazhab Syafi`i) mengatakan kedua hukum itu digugurkan saja, karena secara kualitas kedua dalil itu adalah sama. Menurutnya, teks yang membolehkan itu didukung oleh hukum asal pada sesuatu, yaitu boleh, sedangkan hukum yang dilarang itu menggiring seseorang untuk hati-hati maka kualitas keduamya adalah sama. Dalam keadaan seperti ini sulit untuk mentarjih salah satu di antara keduanya. Oleh sebab itu kedua hukum yang dikandung teks yang bertentangan itu digugurkan saja.
v  Suatu teks yang mengandung hukum menetapkan, sedangkan yang lain meniadakan, maka dalam hal  seperti ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya Ibn `Abbas meriwayatkan sebuah hadith bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah dalam keadaan ihram sebagaimana hadith berikut ini:
انه صلى الله عليه وسلم تزوج ميمو نة بنت الحارث وهو محرم )  رواه البخارى ومسلم)
Artinya: " Sesungguhnya Nabi SAW mengawini Maimunah binti al-Harith sewaktu beliau sedang ihram". (HR.Bukhari dan Muslim).
Hadith ini berlawanan dengan hadith Abu Rafi` yang mengabarkan berikut ini:
انه صلى الله عليه وسلم تزوجها وهو حلال. (رواه مالك)
Artinya: "Bahwasanya Nabi SAW mengawini maimunah binti al-Harith pada beliau sudah bertahallul". (HR. Malik)
Dalam kasus seperti ini, ulama Syafi`iyyah teks yang sifatnya meniadakan lebih didahulukan dari teks yang sifatnya menetapkan. Kasus perkawinan Rasulullah SAW di atas, riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW tidak dalam keadaan ihram lebih didahulukan dari riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW sedang ihram. Alasannya bahwa Abu Rafi` pada waktu itu bersama-sama beliau, maka sudah barang tentu ia lebih tahu atas peristiwa itu daripada Ibnu `Abbas yang saat itu tidak ikut pergi bersama Rasulullah SAW
`Imam al-Gazaly berpendapat kedua hukum tersebut digugurkan, karena kemungkinan keduanya benar dan kemungkinan salah. Oleh sebab itu, menurutnya harus dicari indikasi lain dalam pentarjihan tersebut.
Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka didahulukan yang pertama yaitu menghindarkan terpidana dari hukuman. Sesuai dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
عن عائشة رضى الله عنها قالت:  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ادرؤالحدود عن المسلمين ماا ستطعتم ... (رواه الترمذى).
Artinya: "Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudud terhadap muslim selama kamu mampu".      (HR. Al-Turmudzi).
Teks yang mengandung hukuman ringan lebih didahulukan dari pada teks yang di dalamya mengandung hukuman berat. Karena Syari`at Islam mengandung azas  keringanan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah(2):185.
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر.
Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran".
d. Pentarjihan dengan Menggunakan Faktor (dalil) Lain di Luar Nash (amr al-Kharij).
Al-Amidi mengemukakan lima belas cara pentarjihan dengan menggunakan faktor di luar nash. Dan Imam al-Syawkani meringkasnya menjadi sepuluh cara, di antaranya:
v  Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik dalil itu al-Qur`an, Sunnah, ijma`, maupun logika.
v  Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya al-Qur`an dan penafsirannya serta adanya anjuran Rasulullah SAW untuk mengikuti mereka.
v  Mendahulukan nash yang menyebutkan `illat (motivasi) hukumnya daripada nash yang tidak menyebutkan `illatnya.
v  Mendahulukan dalil yang mengandung kehati-hatian (ihtiyath) daripada dalil yang tidak menyebutkan demikian.
v  Mendahulukan dalil yang dibarengi dengan perbuatan atau perkataan perawinya dari dalil yang tidak demikian halnya.
2. Tarjih Bain al-Aqyisah
Ta`arudh dengan segala macam cara penyelesaiannya tersebut di atas adalah bertentangan antara dua dalil syara` yang berupa nash. Di samping itu ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil syara` yang bukan nash  yaitu ta`arudh antara qiyas dengan qiyas. Muhammad bin `Ali al-Syawkani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan (ta`arudh). Ketujuh belas macam pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah al-Zuhaily (guru besar fikih Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah) menjadi empat kelompok, yaitu: 1). Tarjih dari segi hukum asal. 2). Tarjih dari segi hukum furu`. 3) Tarjih dari segi `illat. 4) Tarjih melalui faktor luar.
1). Tarjih dari Segi Hukum Asal.
Pentarjihan qiyas dari segi hukum asal, Imam al-Syawkani bisa menggunakan enam belas cara, di antaranya:
v  Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat qath`i  dari qiyas yang hukum asalnya zanni, karena yang qath`i lebih kuat dari yang zanni.
v  Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma` dari qiyas yang landasan dalilnya nash. Sebab nash itu bisa di-takhsis, di takwil, dan di-nasakh, sedangkan ijma` tidak. Cara seperti ini dibantah dan ditolak oleh Imam Haramain al-Juwaini (419- 478 H/ 1028- 1085 M. / ahli usul fiqh Syafi`i). Menurutnya, ada kemungkinan qiyas yang di tetapkan berdasarkan al-Qur`an atau hadith lebih kuat dari qiyas yang di dasarkan kepada ijma`, karena ijma` itu sendiri harus di landaskan kepada nash. Dengan demikian, ijma` itu merupakan cabang dari nash, yang sifatnya tidak boleh di dahulukan dari asal. Pendapat ini di dukung oleh ulama usul fiqh Syafi`iyyah lainnya, Imam Baidhawy (w. 685 H/ 1287 M).
v  Menguatkan qiyas yang `illatnya di dukung oleh dalil khusus dari qiyas yang `illatnya tidak didukung oleh dalil khusus.
v  Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas dari qiyas yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas.
v  Menguatkan qiyas yang disepakati ulama tidak dinasakhkan dari qiyas yang tidak disepakati kemudian dinasakhkan.
v  Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus dari qiyas yang hukum asalnya bersifat umum.
2). Tarjih dari Segi Hukum Furu`
Di antaranya adalah dengan cara:
v  Menguatkan hukum furu` yang datang kemudian dari asalnya yang hukum furu`nya lebih dahulu dari hukum asal.
v  Menguatkan hukum furu` yang `illatnya diketahui secara qath`i dari hukum furu` yang `illatnya bersifat dhanni.
v  Menguatkan hukum furu` yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum furu` yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafsil (rinci).
3). Tarjih dari Segi `Illat.
Pentarjihan berdasarkan `illat dapat dibagi dua, yaitu dari segi cara penetapan `illat dan dari segi sifat `illat itu sendiri. Adapun pentarjihan dari segi cara penetapan `illat, antara lain:
v  Menguatkan `illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai `illat dari yang tidak demikian.
v  Menguatkan `illat yang dilakukan dengan metode al-sabru wa al-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilahan `illat) yang dilakukan oleh para mujtahid dari `illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara `illat dengan hukum.
v  Menguatkan `illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari `illat yang ditetapkan melalui munasabah karena isyarat dari nash lebih kuat dari `illat yang ditetapkan berdasarkan dugaan mujtahid.
Sementara pentarjihan dari segi sifat `illat, antara lain:
v  Menguatkan `illat yang bisa diukur dengan `illat yang bersifat relatif dan tidak bisa diukur.
v  Menguatkan `illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada kasus lain dari `illat yang sifatnya terbatas pada suatu kasus saja.
v  Menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok (dharuriyyah) dari `illat yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan penunjang (hajiyyah). Demikian pula menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyyah dari `illat yang terkait dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
v  Menguatkan `illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum,dari `illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.
4) Tarjih Qiyas Melalui Faktor Luar.
Pentarjihan qiyas melalui faktor-faktor di luar qiyas dapat dilakukan antara lain dengan hal sebagai berikut:
v  Menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah `illat dari qiyas yang hanya didukung oleh satu `illat.
v  Menguatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat (bagi yang menjadikan fatwa sahabat sebagai salah satu dalil syara`) dari qiyas yang tidak demikian.
v  Menguatkan qiyas yang `illat berlaku pada seluruh furu` dari`illat yang hanya berlaku pada sebagian furu` saja.
v  Menguatkan qiyas yang `illatnya didukung oleh sejumlah dalil dari qiyas yang hanya `illatnya hanya didukung oleh satu dalil saja.

c. tarjih dari segi illat
Dari segi illatPen-tarjih-an ini dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1.      Pentarjihan dari segi cara penetapan illat
2.      Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
3.      Menguatkan illat yang dilakuakan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis dan pemilihan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang melakukan metode munsabah (keserasian) antara illat dengan hukum.
4.      Menguatkan illat yang didalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah (keserasian),karena isyarat nash lebih baik dari pada dugaan mujtahid.
5.      Pentarjihan dari sifat illat
a.       Menguatkan illat yang bias di ukur dari pada yang relatif
b.      Menguatkan illat yang sifatnya bias dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas pada satu hukum saja.
c.       Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting dari pada yang bersifat hajjiyat(penunjang).dan dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatn yang bersifat hajjiyat dari pada yang bersifat tahsiniyyat(pelengkap)
d.      Menguatkan illat yang melatarbelakangi suatu hukum,dari pada illat yang bersifat indicator saja terhadap latar belakng hukum.
6.      Pentarjihan Qiyas melalui factor luar
a.    Menguatkan qiyas yang didukung oleh satu illat
b.    Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat( bagi yang berpendapat
c.    bahwa pendapat sahabat sebagai dalil)
d.   Menguatkan illat yang bias berlaku furu’ dari pada yang bias berlaku furu’ saja .
e.    Mendukung qiyas yang didukung lebih dari satu dalil

3 komentar: